Oleh: Harianto — jurnalis budaya
Mata air sering kali hanya kita pandang sebagai persoalan teknis: debitnya cukup atau tidak, kualitasnya layak minum atau tidak, letaknya strategis atau tidak. Padahal, di banyak desa di Lombok Timur, mata air tak cuma dihitung dalam kubik. Ia hadir sebagai bagian dari narasi hidup, penuh makna, penuh memori.
Saat warga berkumpul membawa dulang, menabur bunga, dan membacakan doa di sekitar mata air, itu bukan hanya soal keyakinan spiritual. Itu adalah bentuk narasi ekologis yang diwariskan turun-temurun.
Di Aikdewa, Jurit Baru, Sembalun, Tetebatu dan banyak desa lain, ritual seperti Ngalun Aiq, Ngayu-ayu, atau Roros Reban adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam menjaga ekosistem lokal.

Ritus ini bukan sisa masa lalu. Ia adalah sistem pengetahuan. Sebelum ada konsep “ekologi spiritual” dalam buku-buku akademik, warga desa sudah lebih dulu melakukannya.
Menjaga air bukan hanya dengan membangun infrastruktur, tapi dengan membangun ikatan emosional dan sosial dengan alam.
Sayangnya, modernisasi kerap datang dengan cara mengabaikan pengetahuan lokal. Alih-alih dilibatkan, warga justru sering disubordinasi oleh logika pembangunan teknokratik.
Padahal, saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur merumuskan RPJMD 2025–2029 dengan misi memperkuat ketahanan sosial dan budaya, di situlah sebenarnya tradisi seperti ini perlu mendapat ruang formal.
Ritus selamatan mata air ini bisa menjadi model pendidikan ekologi berbasis lokal. Kita tak perlu memulai dari nol. Ada sistem nilai yang sudah hidup dan terbukti bertahan dalam dinamika alam dan perubahan iklim. Kita tinggal mendengar, mencatat, dan merangkulnya dalam kebijakan.
Jika ritus hanya jadi tontonan atau agenda tahunan demi proyek seremonial, maka kita kehilangan maknanya. Ketika air berhenti mengalir bukan karena alam, tapi karena manusia berhenti merawatnya secara spiritual dan sosial, maka yang kering bukan hanya tanah, tapi juga ingatan kolektif kita sebagai bangsa.
Air bukan sekadar persoalan irigasi atau sanitasi. Ia adalah simpul kebudayaan. Menjaganya berarti menjaga relasi manusia dengan alam dan dengan sesamanya. Inilah saatnya menjadikan tradisi sebagai rujukan, bukan sekadar peninggalan. Begitu?