Penulis: Aulia Hopiandini & Isnul Hamdi (Mahasiswa Sastra Inggris UNW Mataram)
Pulau Lombok tak hanya dikenal dengan pesona alamnya, tetapi juga kaya akan tradisi dan adat istiadat yang unik, salah satunya adalah Suku Sasak. Suku ini, sebagai kelompok etnis terbesar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih melestarikan kekayaan budaya dan tradisi yang kuat, seperti yang terlihat di Dusun Jempong, Kota Mataram. Meskipun demikian, ada beberapa kebiasaan baik dan tradisi Sasak yang kini semakin langka, bahkan tidak lagi dilestarikan oleh sebagian masyarakat. Salah satu tradisi penting yang masih dijaga adalah Pedak Api, sebuah ritual pemberian nama bayi yang baru lahir, biasanya dilakukan ketika bayi berumur sekitar tujuh hari atau setelah tali pusar lepas.
Tradisi Pedak Api bukan sekadar ritual pemberian nama, melainkan juga mengandung makna sosial, simbolis, dan spiritual yang mendalam. Secara harfiah, Pedak Api berarti “memadamkan api,” merujuk pada perapian khusus yang disebut “dapu” yang digunakan untuk menghangatkan ibu dan bayi setelah melahirkan. Inti dari tradisi ini terjadi setelah tali pusar bayi lepas, menandakan kesiapan bayi untuk menerima identitas dan berkah dalam kehidupannya. Prosesi ini diyakini sebagai permohonan keselamatan, kesehatan, dan berkah bagi buah hati.
Pelaksanaan ritual Pedak Api terstruktur dengan baik, dimulai dari tahap persiapan yang melibatkan musyawarah dan penyiapan perlengkapan seperti apus tawar (luluran), gelang benang hitam putih, serabut kelapa, air kerak nasi, daun bikan, sembek, dan andang-andang (seserahan). Ritual ini dipimpin oleh seorang Belian (dukun beranak). Tahap pelaksanaan diawali dengan pembacaan doa bersama, diikuti dengan pengayunan atau pemutaran bayi di atas asap bara sabut kelapa sebanyak sembilan kali sebagai simbol pembersihan dan perlindungan.

Setelah pemutaran, bayi diberi nama secara lisan dan tertulis. Uniknya, bayi dipercaya akan menggenggam erat tulisan nama jika menyukainya atau melepaskannya jika tidak. Selanjutnya, gelang putih berisi jeringo dipasang di pinggang, pergelangan tangan, dan kaki bayi serta ibunya sebagai simbol proteksi. Bayi juga digendong secara bergantian oleh sembilan anggota keluarga, melambangkan kasih sayang dan ikatan erat. Prosesi utama diakhiri dengan sembek dan penyiraman air kerak nasi ke sisa bara api, simbol pembersihan segala kesulitan. Tahap penutup berupa doa dan pemberian seserahan kepada Belian sebagai tanda terima kasih.
Tradisi Pedak Api mengandung nilai-nilai karakter yang kental. Pertama, nilai religius tercermin dari setiap tahapan yang disertai doa dan harapan kepada Tuhan. Kedua, nilai tanggung jawab orang tua dalam memilih nama yang dipercaya akan memengaruhi perjalanan hidup anak. Ketiga, nilai cinta tanah air dan pelestarian tradisi terlihat dari keinginan kuat masyarakat Sasak untuk menjaga warisan nenek moyang ini. Keempat, nilai sosial dan gotong royong sangat terasa dengan keterlibatan aktif keluarga dan tetangga. Setiap benda dalam tradisi ini juga memiliki makna simbolis, seperti serabut kelapa yang melambangkan ketangguhan dan jeringo yang dipercaya melindungi dari gangguan.
Secara keseluruhan, tradisi Pedak Api adalah salah satu kekayaan budaya yang patut dijaga dan diwariskan ke generasi berikutnya. Dari proses persiapan hingga perayaan memadamkan api yang menandai berakhirnya penamaan bayi, setiap elemen mengandung nilai-nilai penting yang diyakini masyarakat. Meskipun terkesan sederhana, tradisi ini menyimpan makna yang dalam dan menjadi cerminan jati diri masyarakat Sasak, memperkaya warisan budaya Indonesia.
