Indonesia kaya akan aneka ragam tradisi dan adat yang perlu dilestarikan oleh generasi muda bangsa. Tradisi tersebut bukan sekadar rutinitas harian, bulanan, ataupun tahunan, melainkan mengandung nilai-nilai mulia yang bersifat edukatif, religius, dan sosial.

Hal ini terungkap dalam acara bincang-bincang budaya yang dilaksanakan di Universitas Nahdlatul Wathan Mataram pada hari Senin, 13 Juli 2025. Kegiatan diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kampanye kearifan lokal Lombok yang melibatkan mahasiswa dan pelajar dari berbagai kabupaten di Nusa Tenggara Barat. Kampanye tersebut adalah perwujudan Gerakan Literasi Budaya yang diinisiasi oleh tim dosen Universitas Nahdlatul Wathan Mataram bekerjasama dengan Beruga’ Alam Institute.
Baiq Salkiah, penanggung jawab kegiatan, mengungkapkan bahwa gerakan literasi budaya, khususnya budaya lokal, memberikan perspektif baru kepada dosen dan mahasiswa. Selama ini, adat istiadat sering dianggap hanya sebagai tontonan, tetapi melalui gerakan ini, mereka belajar memahami makna dan nilai di balik tradisi tersebut.

Salah satu mahasiswa yang terlibat dalam riset lapangan di Desa Jenggik, Kabupaten Lombok Tengah, menyatakan bahwa tradisi masyarakat Sasak seperti Gendang Beleq bukan sekadar hiburan rakyat. Lebih dari itu, Gendang Beleq berperan sebagai wadah silaturahmi antarwarga sekaligus media edukasi bagi yang ingin mempelajari makna setiap instrumen dalam pertunjukan tersebut.
Pendapat serupa disampaikan mahasiswa lain yang menyoroti metode pengobatan tradisional Suku Sasak, yang dikenal dengan Bubus. Salah satu Bubus yang masih dipertahankan di Desa Pejanggik adalah Bubus Ander Nyawe, yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Pengobatan ini digunakan untuk mengatasi penyakit fisik maupun penyakit non-medis (ghaib), dan dianggap memiliki khasiat yang tidak kalah dengan pengobatan Barat atau China.
Dalam sesi diskusi juga terungkap pengalaman mahasiswi Rohani setelah mengikuti kunjungan lapangan di Desa Lingsar. Ia menyadari bahwa makna Perang Topat selama ini sering disalahpahami. Perang Topat bukanlah konflik antara masyarakat Sasak dan Bali, melainkan sebuah peringatan atau haul atas seorang wali yang pernah datang ke tempat tersebut dan menancapkan tongkatnya, sehingga muncul mata air yang hingga kini masih ada.
Diskusi ini memperkuat pemahaman bahwa tradisi dan adat bukan hanya warisan budaya yang harus dijaga, tetapi juga sarana pembelajaran dan penguatan nilai-nilai sosial, religius, dan edukatif. Oleh karena itu, pelestarian tradisi melalui gerakan literasi budaya sangat penting untuk membentuk kesadaran dan kecintaan generasi muda terhadap kearifan lokal.
Penulis, Marham Jupri Hadi, pemerhati tradisi dan kearifan lokal Lombok.